Friday 18 March 2011

Tiade paksaan untuk memeluk agame islam

Al-Quran Surah Al-Baqarah (2): 256.
“Laa ikraaha fid diini qat tabayyanar rusydu minal ghayyi fa may yakfur biththaaghuuti wa yu’mim billaahi fa qadis tamsaka bil ‘urwatil wutsqaa lan fishaama lahaa wallaahu samii’un ‘aliim.”

Artinya:
Tiada paksaan dalam agama. Sungguh jalan yang benar telah nyata dibedakan dengan yang salah. Oleh karena itu, barangsiapa menolak sembahan yang palsu (taghut) dan beriman kepada Allah, maka ia telah berpegang pada simpul tali uyang paling kuat, yang tak akan pernah putus; dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.

Sebab Turunnya Ayat:
Ada seorang lelaki dari Madinah bernama Abu Haseen yang memiliki dua anak lelaki. Beberapa pedagang Kristen, yang biasa mengimpor barang dagangan dari luar ke Madinah, mengajal kedua pemuda tersebut untuk memeluk Kristen ketika mereka sedang di Madinah. Kedua pemuda, sangat terpengaruh oleh pedagang tersebut.

Akhirnya Abu Haseen menjadi sangat tidak nyaman dengan situasi seperti itu. Dia dating kepada Rasulullah SAWW dan menceritakan masalah tersebut, memintanya agar mengembalikan kedua anaknya kepada agamanya sendiri. Dia bertanya apakah boleh memaksa mereka agar kembali kepada Islam. Lantas, ayat ini diturunkan untuk menjawab permasalahan itu, bahwa tiada paksaan dalam menerima suatu agama.

Tafsirnya:
Menurut Allamah Kamal Faqih Imani, ayat sebelumnya, ‘Ayatul Kursiy’, sebenarnya merupakan serangkaian Ketunggalan dan Sifat-sifat Allah, Keindahan dan Keagungan, yang menjadi fondasi agama Islam. Makna ini diterima dalam hal apa pun dengan bukti-bukti yang masuk akal. Oleh karena itu, memeluk suatu agama tidak boleh dilakukan dengan paksaan atau kekerasan, dan dalam ayat ini disebutkan:

“Laa ikraaha fid diini qat tabayyanar rusydu minal ghayyi” (Tiada paksaan dalam agama. Sungguh jalan yang benar telah nyata dibedakan dengan yang salah.)

Ayat ini merupakan jawaban yang tegas bagi mereka yang membayangkan bahwa agama Islam menggunakan kekerasan dan telah berkembang dan menyebar berkat kekuatan pedang dan semangat mati syahid.

Lantas, sebagai kesimpulan dari ayat yang sebelumnya, disebutkan sebagai berikut:

“Fa qadis tamsaka bil ‘urwatil wutsqaa lan fishaama lahaa” (Oleh karena itu, barangsiapa menolak sembahan yang palsu (taghut) dan beriman kepada Allah, maka ia telah berpegang pada simpul tali uyang paling kuat, yang tak akan pernah putus;)

Pada bagian akhir, ayat ini selanjutnya menyebutkan sebagai berikut:

“Wallaahu samii’un ‘aliim.” (dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.)

Kalimat penutup ini merupakan isyarat bahwa masalah keimanan dan kekafiran bukanlah sesuatu yang bisa dipenuhi hanya dengan berpura-pura, karena Allah mendengar semua ucapan, baik yang mereka ucapkan secara terbuka maupun sembunyi-sembunyi.


Dikutip dari: Tafsir Nurul Quran: Sebuah Tafsir Sederhana Menuju Cahaya Al-Quran karya Allamah Kamal Faqih Imani. Jilid 3. Jakarta: Al-Huda, 2003. pp.13-14.

No comments:

Post a Comment